Cari Blog Ini

Jumat, 19 Maret 2010

cerita

ABU MUSA AL-ASY’ARI

SEDIH KETIKA MELIHAT UMAT ISLAM PERANG

Di suatu hari, Abu Musa al-Asy’ari mendatangi kota Basrah. Oleh Umar bin Khaththab ia di utus menjadi Gubernur kota itu. Di sebuah pertemuan, warga berkumpul untuk mendengarkan ceramahnya. Yang dia sampaikan, tugasnya bukan hanya menyampaikan al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saja, tetapi juga membersihkan jalanan.

Warga terkejut mendengarnya. Belum pernah ada Gubernur Basrah yang menyuarakan pembersihan jalanan. Warga tidak sulit memahami, karena memang salah satu ajaran Islam adalah kebersihan.

Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Qiys. Asalnya adalah Yamam. Tidak lama disana ia hijrah ke Mekkah untuk memeluk dan mendalami ajaran Islam.

Terkadang ia kembali ke tanah kelahirannya untuk dakwah Islamiyah. Entah bagaimana kelanjutan kisahnya, yang jelas setelah perang Khaybar, dia menemui Rasulullah di Madinah bersama Ja’far bin Abi Tholib dan muslim Abisinia.

Ketika itu, Abu Musa membawa 50 rombongan umat islam dari asalnya. Rasulullah menyambut mereka dengan ramah. Dua orang dari jumlah itu adalah saudaranya: Abu Ruhm dan Abu Burdah. Rombongan tersebut terkenal dengan sebutan Asy’ari.

Bahkan umat islam mengenal muslim Yaman sebagai Asy’ari, mengingat pendakwah ajaran Islam kepada mereka adalah Abu Musa Asy’ari. Mereka dikenal manis bertutur kata, mulia berakhlak, dan murah hati. Pernah nabi berkesan kepada kelompok ini, “jika Asy’ari melakukan perjalanan dan mereka kehabisan bekal, mereka akan mengumpul semua yang mereka miliki dalam satu pakian dan mereka bagikan sama rata.”

Di kalangan umat Islam, Abu Musa di kenal karena banyak kepandaian. Dia adalah seorang ahli fiqih. Dia adalah hakim penghukum yang bersalah sesuai dengan hukuman yang berlaku, memutuskan sesuai dengan bukti kebenaran, bukan denganbukti yang dibuat-buat. Saking terkenalnya sebagai hakim, kedudukannya nyaris sama dengan Umar, Ali, dan Zayd bin Tsabit.

Dalam jihad dia prajurit pemberani, dan tangguh, dia terkadang meninggalkan medan perang dengan menangis. Kalau sudah begitu dia menghibur diri dengan membaca al-Qur’an dengan nada yang membuat siapapun yang mendengarnya menangis. Rasulullah pernah mengatakan, Allah telah menganugrahinya suara indah seperti umat nabi Daud dahulu.

Karena keindahan suaranya itu, Umar bin Khathhtab berharap, semoga Tuhan meridhoinya. Terkadang khalifah memanggil Abu Musa hanya untuk melantunkan ayat-ayat ilahi di hadapannya.

Selama hidupnya, Abu Musa hanya berperang melawan orang musyrik. Ketika peperangan antar umat islam berkecamuk dia mengasingkan diri, tidak ikut dalam peperangan tersebut, karena ia tidak mau membunuh saudaranya sendiri.

Dia berposisi netral, tidak memihak antara golongan umat islam yang satu dan lainnya. Dia berpendapat, jika sesama umat islam menumpahkan darah, maka masa depan umat islam akan terancam.

Dia buktikan pendapatnya saat terjadi perpecahan antara khalifah Ali bin Abi Tholib denga Muawiyah bin Abi Sofyan. Saat umat islam harus memilih siapakah diantara keduanya yang berhak atas kepemimpinan.

Tentu saja Ali lebih berhak, tetapi perpecahan tidak dapat dicegah antaran keduanya. Dan Abu Musa tidak kuasa melihatnya. Maka ia mengasingkan diri ke Mekkah dan menghabiskan sisa hidupnya di dekat Masjidil Haram.

Masa hidupnya ia pasrahkan kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Semasa kepemimpinan Rasulullah, bersama Mu’adz bin Jabal, Abu Musa mendapatkan kemulian menjadi gubernur Kuffah.

Dalam beribadah, dia dikenal selalu mengerjakan sunnah tanpa meninggalkan yang wajib, sebuah kebiasan yang patut ditiru umat Islam. Dan Abu Musa pun mendapat keselamatan di dunia dan akhirat, sebagaimana Rasulullah pernah menjanjikan kepada para sahabatnya.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...